Selasa, 13 November 2012

Implenentasi dari Hukum yang Mengayomi


Hukum yang mengayomi itu, adalah hukum yang sederhana dan tidak membuat yang menjalani hukuman menjadi terbebani tetapi tetap  dalam hal ini, hukum itu dapat memberikan efek jera bagi pelaku pelanggaran terhadap hukum. Hukum itu seharusnya tidak terlalu kaku tetapi merupakan suatu komponen-komponen yang menyatu secara sistematis, tidak kaku dan elastis. Mempunyai sifat ramah tetapi tetap memiliki wibawa dan pamor yang kuat, sehingga hukum itu dapat tetap dihormati sebagai suatu tatanan dalam kehidupan manusia untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Ini adalah “dasollen”, tetapi bagaimana dengan das sein?
Memang itu semua adalah asas, cita-cita adalah asas. Hukum sebagai asas itu untuk keadilan dan ketentraman, tetapi yang dinamakan ketentraman merupakan situasi dimana tidak susah dan tidak senang. Antara kedua hal yang bertentangan itu ditengah-tengahnya adalah apa yang disebut ketentraman. Dan perlu disadari pula bahwa sampai kiamat yang dinamakan “ketentraman” itu tidak akan pernah tercapai. Karena dunia ini merupakan 2 (dua) unsur hitam dan putih, bumi dan langit, susah dan senang dan ini merupakan suatu dinamika. Dalam kehidupan kedua hal ini akan saling mengisi, orang tidak akan pernah selamanya merasa susah, atau orang juga tidak akan pernah selalu merasa senang. Jika orang selalu merasa senang itu akan menyebabkan suatu gejala yang dinamakan “gila” begitupun sebaliknya jika dalam hidup orang selalu merasa susah, sedih.
Untuk itu makna ketentraman itu harus kita mengerti terlebih dahulu, “ketentraman yang seperti apa”. Akan terlihat aneh dan lucu apabila kita ingin mencari suatu benda tapi tidak mengerti benda itu seperti apa, tidak mengerti yang kita cari itu apa. (seperti orang yang sedang mencari korek api, tetapi belum pernah melihat korek api dan sekedar tau namanya saja).
Tetapi tidaklah salah kalau kita memiliki sebuah cita-cita, tidaklah salah kalau kita bermimpi dan memiliki suatu impian. Tetapi sangat salah apabila kita hanya bermimpi tanpa mencoba mengujudkan apa yang kita impikan sebagai implementasi dan untuk suatu tujuan yang lebih besar.
Ini merupakan tugas orang hukum untuk mencari sebuah sistem hukum yang dapat mengayomi kehidupan manusia. Sebuah sistem hukum yang benar-benar baru yang lebih manusiawi dan bijaksana, sistem hukum yang digali bukan dari negara atau bangsa lain, tetapi sistem hukum yang digali dari bumi Indonesia.
Disini saya hanya sebagai seorang mahasiswa yang peduli terhadap penegakan sistem hukum di Indonesia yang dirasa kurang adil, kurang bijaksana, kurang berperi kemanusiaan dan yang tidak bisa diterima lago adalah hukum warisan penjajah.
“Mengapa masih dilestarikan?”, “Kenapa kita tidak bisa membuat hukum kita sendiri?” “Katanya kita bangsa yang besar, kok masih nurut orang-orang luaran?”.”kok masih melestarikan budaya penjajah?”Dan yang pasti tulisan ini muncul didorong oleh rasa kecewa terhadap sistem hukum saat ini. Karena ada kasus mbah minah, kasus antasari ashar, kasus prita , kasus gayus dan kasus-kasus lainya.
Saya hanya seorang mahasiswa yang belum tau banyak mengenai hukum, dan mungkin saya belum pantas untuk menulis sebuah buku tetapi disini saya hanya mencoba menggambarkan sistem hukum yang dicita-citakan rakyat (yang rakyat pasti setuju), sistem hukum yang bijaksana dan sistem hukum yang berlandaskan “ketuhanan Yang Maha Esa” dan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Mengambil suatu tema yang sedang marak dibicarakan oleh kalangan intelektual dan kebanyakan orang, mengenai masalah korupsi.
Menurut prognosis Syed Hussein Alatas, korupsi di Indonesia yang sudah diyakini meluas dan mendalam (widespread and deep-rooted) itu, akhirnya hanya akan menggerogoti habis dan menghancurkan masyarakatnya sendiri (self-destruction).
Bicara mengenai masalah korupsi, saat ini kita telah memiliki Undang-undang antikorupsi (1971, 1999, 2001)dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Prof.Satjipto Rahordjo berpendapat untuk implementasi dari undang-undang yang telah ada untuk memerangi masalah korupsi di Indonesia “sebaiknya kita membangun suatu konstitusi total yang ingin disebut Orde Hukum Antikorupsi”.

Tetapi dalam hal ini Prof. Satjipto Rahardjo mengharapkan bahwa dengan dibentuknya suatu Orde hukum Antikorupsi, tak hanya korupsi konvensional, tetapi semua bentuk korupsi dengan percabangannya dapat dibabat habis.
Telah banyak kita mendengar dan melihat di televisi kasus-kasus korupsi yang tidak terselesaikan, dan cenderung saling tuding. Banyak terjadi bentrokan antar institusi, antara KPK dengan POLRI yang pernah menjadi suatu wacana “tokek vs buaya”(sama-sama keluarga kadal), antara partai dengan partai, antara tokoh Intelektual dengan Intelektual lainya. Mengapa demikian? Penuh sekali dengan unsur-unsur politik hitam yang cenderung kasus korupsi ini sudah menjangkit sampai atas atau pusat dan melibatkan pejabat-pejabat negara bahkan aparat penegak hukum itu sendiri.
Semuanya sibuk mencari kambing hitam, padahal rakyat juga sudah mulai cerdas dan tau bahwa “antara pantat panci dan pantat kebo itu sama-sama hitam”. Siapa itu? Ya itulah mereka yang selalu berebut benar, merasa dirinya tidak salah.
Sangat miris bila mendengar Indonesia negara terkorup nomor 3 sedunia, bahkan mungkin saat ini sudah menjadi nomor satu. Kalau bisa di adakan Corruption Award, Indonesia berhak mendapat piala emas berbentuk tikus yang memakai dasi dengan perut yang buncit. Atau rakyat bersama-sama secara kerja bakti membuat sebuah monumen nasional berbentuk tikus raksasa di Jakarta sebagai bentuk protes terhadap korupsi yang melanda dan tak kunjung selesai permasalahanya.
Jika membandingkan kasus korupsi dengan kasus maling ayam atau sebagainya, terus terang saya kecewa dengan penegakan hukum di Indonesia. cobalah liat, maling ayam, maling kakau di hukum dan dijebloskan ke penjara. Tetapi kasus korupsi yang merugikan keuangan negara atau orang banyak malah dengan santainya berhadapan dengan hukum. Hukum hanya bisa tegak kalau diterapkan kepada rakyat yang tidak mengerti hukum, tetapi hukum tidak bisa menjadi tegak (miring dan letoy) jika diterapkan kepada orang-orang yang yang memiliki kekuasaan dan uang. Inilah yang saya maksud “hukum tajam kebawah, tetapi tumpul keatas”.
Atas dasar rasa kekecewaan terhadap sistem penegakan hukum di Indonesia saat ini, maka muncul suatu gagasan yang pernah saya dengar dari seorang pejuang rakyat, yang tidak terkenal tetapi dari beliaulah ide ini muncul.
Beliau menggambarkan suatu gambaran mengenai hukum yang diharapkan nanti dapat mengganti sistem hukum saat ini, melalui pencermatan dan pendalaman mengenai pancasila. Banyak sekali kita dengar di universitas-universitas di Indonesia dalam pembelajaran mengenai hukum, bahwa “pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum”(law of the law).
Dalam pancasila kita tau ada 5 sila didalamnya,itu jika menurut anak SD(sekolah Dasar). Sebagai fondamen negara, pancasila adalah satu karena negara Indonesia adalah suatu kesatuan maka disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia. hanya orang “ngarit”(tukang cari rumput) yang mengatakan pancasila itu 5 (lima). Yang 5 itukan silanya, tetapi isinya tetap satu.
Suatu kesatuan dari berbagai suku bangsa, ras, agama, kepercayaan, golongan, adat istiadat kemudian disatukan menjadi suatu kesatuan dari sabang sampai merauke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang kemudian melahirkan semboyan negara “Bhineka Tunggal Ika”(berbeda-beda tetapi tetap satu jua).
Yang menjadi pertanyaan “kok bisa ?”berbeda tetapi satu?
Ya, tidak mungkin bisa.
Sapi dengan kebo sampai kiamat itu berbeda, tidak bisa disatukan.
Jadi maksudnya, adalah menyatukan yang sama. Yang berbeda ya tidak usah disatukan, karena nanti akan rusak apalagi yang berbeda pendapat. Kalau kita melihat di televisi para bapak-bapak anggota DPR yang ribut berebut “benar” yang masing-masing memiliki pendapatnya sendiri-sendiri, apakah itu bisa disatukan?
Jadi jangan mencerna sesuatu secara mentah, tapi dalami maksudnya.

Hukum yang Mengayomi


Dalam suasana keterpurukan bangsa yang saat ini sedang melanda di semua sektor kehidupan, muncul banyak kritik-kritik negatif yang menyengat seperti kalajengking terhadap sistem dan penegakan hukum di Indonesia. Banyak kritik-kritik yang muncul semata-mata sebagai bentuk protes terhadap penegakan hukum yang terkadang tidak dirasakan adil lagi, hukum yang terkadang memihak golongan tertentu saja, hukum yang terkadang hanya berpedoman pada hukum secara normatif saja tanpa menghiraukan aspek kemanusiaan walaupun normatif adalah benar secara hukum pada umumnya (positive law).
Rakyat Indonesia menghendaki dan mencita-citakan hukum Indonesia yang mengayomi, tidak terkesan menindas dan sama-sekali bukan hukum yang diwariskan penjajah kepada bangsa ini. Dalam buku Prof. Satjipto Rahardjo “penegakan hukum progresif” mengenai bagaimana hukum itu membuat bahagia adalah salah satu bentuk pemikiran beliau terhadap bagaimana hukum yang bisa membuat bahagia bisa diterapkan di Indonesia. Dalam hal ini, saya hanya mengambil sepotong pendapat Prof. Satjipto rahardjo sebagai bahan pengkajian mengenai bagaimana hukum yang dicita-citakan rakyat sesungguhnya.
Beliau mengatakan bahwa dalam hal hukum Indonesia ini mengalami suatu kegelisahan, ketidak bahagiaan pada penerapan hukum modern yang kemudian mengajukan alternatif “sistem hukum Pancasila”, “Hubungan Industrial Pancasila”, dan lain-lain. Dikatakannya pula bahwa orang Indonesia itu pintar menggagas ide-ide, tetapi akhirnya hanya sampai sebatas omongan. Itulah yang disebut sindrom wacana. Alih-alih muncul suasana kebersamaan dan kekeluargaan dalam manajemen industri, yang muncul adalah “marsinah” dan “buruh dijemur”.
Barang kali kalau mau melihat keberhasilan Sistem Industrial Pancasila, kita harus menengok ke jepang, sekalipun negeri itu sama sekali tidak tahu Pancasila.
Sampai tingkat tertentu, hukum adat kita juga bisa dilihat sebagai simbol kegelisahan dan ketidakbahagiaan dalam penggunaann hukum modern itu. Misalnya, dengan mempertahankan organisasi dan hukum subak sampai sekarang, Bali ingin tetap menikmati kebahagiaannya di penggunaan hukum modern di negerinya.
Marilah dengan semangat bangun dari keterpurukan hukum sekarang ini, kita membangun kembali hukum Indonesia dengan suatu penegasan filsafat baru, bahwa hukum hendaknya memberikan kebahagiaan kepada rakyat. Memang, untuk bisa bergaul dalam komunitas Internasional, kita perlu menggunakan hukum modern yang umum dipakai di dunia. Tetapi, apa pun pilihan yang dilakukan oleh Bangsa Indonesia, tidak ada yang melarang bangsa ini untuk menjadi bahagia. Bahkan, itu yang jauh lebih penting.
Sekarang kita mengalami bagaimana terpuruknya sistem hukum kita dan lebih dari pada itu kita menjadi tidak bahagia. Korupsi dengan gesit menyelinap menghindari jaring-jaring hukum. Itu membuat rasa keadilan kita tertusuk dan menjadi tidak bahagia.
Sebab-sebab ketidakbahagiaan itu sebetulnya dikarenakan oleh perilaku kita sendiri, juga dalam menjalankan hukum. Kita menjadi tidak bahagia karena ada kasus Akbar Tandjung, kasus jaksa agung A. Rahman, dan lain-lain.
Dengan menegaskan filsafat tersebut sebagai landasan bernegara hukum diharapkan bahwa dari situ bisa keluar isyarat atau sinyal-sinyal yang bisa ditangkap oleh seluruh bangsa kita, khususnya para legislator, hakim, jaksa, advokat, birokrasi, pendidikan hukum dan lain-lain institusi. Bahwa tujuan akhir bernegara hukum, adalah untuk menjadikan kehidupan rakyat dan bangsa ini bahagia!