Hukum yang mengayomi itu, adalah hukum yang
sederhana dan tidak membuat yang menjalani hukuman menjadi terbebani tetapi
tetap dalam hal ini, hukum itu dapat
memberikan efek jera bagi pelaku pelanggaran terhadap hukum. Hukum itu seharusnya
tidak terlalu kaku tetapi merupakan suatu komponen-komponen yang menyatu secara
sistematis, tidak kaku dan elastis. Mempunyai sifat ramah tetapi tetap memiliki
wibawa dan pamor yang kuat, sehingga hukum itu dapat tetap dihormati sebagai
suatu tatanan dalam kehidupan manusia untuk mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Ini adalah “dasollen”, tetapi bagaimana dengan das sein?
Memang itu semua adalah asas, cita-cita adalah
asas. Hukum sebagai asas itu untuk keadilan dan ketentraman, tetapi yang
dinamakan ketentraman merupakan situasi dimana tidak susah dan tidak senang.
Antara kedua hal yang bertentangan itu ditengah-tengahnya adalah apa yang
disebut ketentraman. Dan perlu disadari pula bahwa sampai kiamat yang dinamakan
“ketentraman” itu tidak akan pernah tercapai. Karena dunia ini merupakan 2
(dua) unsur hitam dan putih, bumi dan langit, susah dan senang dan ini
merupakan suatu dinamika. Dalam kehidupan kedua hal ini akan saling mengisi,
orang tidak akan pernah selamanya merasa susah, atau orang juga tidak akan
pernah selalu merasa senang. Jika orang selalu merasa senang itu akan
menyebabkan suatu gejala yang dinamakan “gila” begitupun sebaliknya jika dalam
hidup orang selalu merasa susah, sedih.
Untuk itu makna ketentraman itu harus kita
mengerti terlebih dahulu, “ketentraman yang
seperti apa”. Akan terlihat aneh dan lucu apabila kita ingin mencari suatu
benda tapi tidak mengerti benda itu seperti apa, tidak mengerti yang kita cari
itu apa. (seperti orang yang sedang mencari korek api, tetapi belum pernah
melihat korek api dan sekedar tau namanya saja).
Tetapi tidaklah salah kalau kita memiliki sebuah
cita-cita, tidaklah salah kalau kita bermimpi dan memiliki suatu impian. Tetapi
sangat salah apabila kita hanya bermimpi tanpa mencoba mengujudkan apa yang
kita impikan sebagai implementasi dan untuk suatu tujuan yang lebih besar.
Ini merupakan tugas orang hukum untuk mencari
sebuah sistem hukum yang dapat mengayomi kehidupan manusia. Sebuah sistem hukum
yang benar-benar baru yang lebih manusiawi dan bijaksana, sistem hukum yang digali
bukan dari negara atau bangsa lain, tetapi sistem hukum yang digali dari bumi
Indonesia.
Disini saya hanya sebagai seorang mahasiswa yang
peduli terhadap penegakan sistem hukum di Indonesia yang dirasa kurang adil, kurang
bijaksana, kurang berperi kemanusiaan dan yang tidak bisa diterima lago adalah
hukum warisan penjajah.
“Mengapa masih dilestarikan?”, “Kenapa kita tidak
bisa membuat hukum kita sendiri?” “Katanya kita bangsa yang besar, kok masih
nurut orang-orang luaran?”.”kok masih melestarikan budaya penjajah?”Dan yang
pasti tulisan ini muncul didorong oleh rasa kecewa terhadap sistem hukum saat
ini. Karena ada kasus mbah minah, kasus antasari ashar, kasus prita , kasus
gayus dan kasus-kasus lainya.
Saya hanya seorang mahasiswa yang belum tau banyak
mengenai hukum, dan mungkin saya belum pantas untuk menulis sebuah buku tetapi
disini saya hanya mencoba menggambarkan sistem hukum yang dicita-citakan rakyat
(yang rakyat pasti setuju), sistem hukum yang bijaksana dan sistem hukum yang
berlandaskan “ketuhanan Yang Maha Esa” dan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”.
Mengambil suatu tema yang sedang marak dibicarakan
oleh kalangan intelektual dan kebanyakan orang, mengenai masalah korupsi.
Menurut prognosis Syed Hussein Alatas, korupsi di
Indonesia yang sudah diyakini meluas dan mendalam (widespread
and deep-rooted) itu,
akhirnya hanya akan menggerogoti habis dan menghancurkan masyarakatnya sendiri
(self-destruction).
Bicara mengenai masalah korupsi, saat ini kita
telah memiliki Undang-undang antikorupsi (1971, 1999, 2001)dan KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi). Prof.Satjipto Rahordjo berpendapat untuk implementasi
dari undang-undang yang telah ada untuk memerangi masalah korupsi di Indonesia “sebaiknya kita membangun suatu konstitusi total yang ingin disebut
Orde Hukum Antikorupsi”.
Tetapi dalam hal ini Prof. Satjipto Rahardjo
mengharapkan bahwa dengan dibentuknya suatu Orde hukum Antikorupsi, tak hanya
korupsi konvensional, tetapi semua bentuk korupsi dengan percabangannya dapat
dibabat habis.
Telah banyak kita mendengar dan melihat di
televisi kasus-kasus korupsi yang tidak terselesaikan, dan cenderung saling
tuding. Banyak terjadi bentrokan antar institusi, antara KPK dengan POLRI yang
pernah menjadi suatu wacana “tokek vs buaya”(sama-sama keluarga kadal), antara
partai dengan partai, antara tokoh Intelektual dengan Intelektual lainya.
Mengapa demikian? Penuh sekali dengan unsur-unsur politik hitam yang cenderung
kasus korupsi ini sudah menjangkit sampai atas atau pusat dan melibatkan
pejabat-pejabat negara bahkan aparat penegak hukum itu sendiri.
Semuanya sibuk mencari kambing hitam, padahal
rakyat juga sudah mulai cerdas dan tau bahwa “antara
pantat panci dan pantat kebo itu sama-sama hitam”. Siapa itu? Ya itulah mereka yang selalu berebut
benar, merasa dirinya tidak salah.
Sangat miris bila mendengar Indonesia negara
terkorup nomor 3 sedunia, bahkan mungkin saat ini sudah menjadi nomor satu.
Kalau bisa di adakan Corruption Award, Indonesia berhak mendapat piala emas
berbentuk tikus yang memakai dasi dengan perut yang buncit. Atau rakyat
bersama-sama secara kerja bakti membuat sebuah monumen nasional berbentuk tikus
raksasa di Jakarta sebagai bentuk protes terhadap korupsi yang melanda dan tak
kunjung selesai permasalahanya.
Jika membandingkan kasus korupsi dengan kasus
maling ayam atau sebagainya, terus terang saya kecewa dengan penegakan hukum di
Indonesia. cobalah liat, maling ayam, maling kakau di hukum dan dijebloskan ke
penjara. Tetapi kasus korupsi yang merugikan keuangan negara atau orang banyak
malah dengan santainya berhadapan dengan hukum. Hukum hanya bisa tegak kalau
diterapkan kepada rakyat yang tidak mengerti hukum, tetapi hukum tidak bisa
menjadi tegak (miring dan letoy) jika diterapkan kepada orang-orang yang yang
memiliki kekuasaan dan uang. Inilah yang saya maksud “hukum tajam kebawah,
tetapi tumpul keatas”.
Atas dasar rasa kekecewaan terhadap sistem
penegakan hukum di Indonesia saat ini, maka muncul suatu gagasan yang pernah
saya dengar dari seorang pejuang rakyat, yang tidak terkenal tetapi dari
beliaulah ide ini muncul.
Beliau menggambarkan suatu gambaran mengenai hukum
yang diharapkan nanti dapat mengganti sistem hukum saat ini, melalui pencermatan
dan pendalaman mengenai pancasila. Banyak sekali kita dengar di
universitas-universitas di Indonesia dalam pembelajaran mengenai hukum, bahwa
“pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum”(law of the
law).
Dalam pancasila kita tau ada 5 sila didalamnya,itu
jika menurut anak SD(sekolah Dasar). Sebagai fondamen negara, pancasila adalah
satu karena negara Indonesia adalah suatu kesatuan maka disebut Negara Kesatuan
Republik Indonesia. hanya orang “ngarit”(tukang cari rumput) yang mengatakan
pancasila itu 5 (lima). Yang 5 itukan silanya, tetapi isinya tetap satu.
Suatu kesatuan dari berbagai suku bangsa, ras,
agama, kepercayaan, golongan, adat istiadat kemudian disatukan menjadi suatu
kesatuan dari sabang sampai merauke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang
kemudian melahirkan semboyan negara “Bhineka Tunggal Ika”(berbeda-beda tetapi
tetap satu jua).
Yang menjadi pertanyaan “kok bisa ?”berbeda tetapi
satu?
Ya, tidak mungkin bisa.
Sapi dengan kebo sampai kiamat itu berbeda, tidak
bisa disatukan.
Jadi maksudnya, adalah menyatukan yang sama. Yang
berbeda ya tidak usah disatukan, karena nanti akan rusak apalagi yang berbeda
pendapat. Kalau kita melihat di televisi para bapak-bapak anggota DPR yang
ribut berebut “benar” yang masing-masing memiliki pendapatnya sendiri-sendiri,
apakah itu bisa disatukan?
Jadi jangan mencerna sesuatu secara mentah, tapi
dalami maksudnya.
menurutku hukum sisa koloni itu tdk msalah karna slama sistem hkum itu sesuai dgn fungsi nd tjuan nya nd dpt mncapai kemashlahatan knpa tdk untk d adopsi...
BalasHapusbgaimana mungkn legislatif d negeri ini membuat sistem hkum yg br kalo skrg d berikan yg sudah jd sja msh bnyk kekeliruan d dlm plaksanaan nya ...
bukan sistem hkum yg slah sbnr nya, tp hati nurani sbagai mnusia lah yg tdk brfungsi shingga sudah ad hkum sja bnyk yg msh sperti hewan brtingkah smau nya ...
itu karna sifat ego yg d mliki masing2 insan yg tdk trkontrol nd trlatih dgn baik,,prbarui sja pndidikan moral nd agama ....