Selasa, 13 November 2012

Hukum yang Mengayomi


Dalam suasana keterpurukan bangsa yang saat ini sedang melanda di semua sektor kehidupan, muncul banyak kritik-kritik negatif yang menyengat seperti kalajengking terhadap sistem dan penegakan hukum di Indonesia. Banyak kritik-kritik yang muncul semata-mata sebagai bentuk protes terhadap penegakan hukum yang terkadang tidak dirasakan adil lagi, hukum yang terkadang memihak golongan tertentu saja, hukum yang terkadang hanya berpedoman pada hukum secara normatif saja tanpa menghiraukan aspek kemanusiaan walaupun normatif adalah benar secara hukum pada umumnya (positive law).
Rakyat Indonesia menghendaki dan mencita-citakan hukum Indonesia yang mengayomi, tidak terkesan menindas dan sama-sekali bukan hukum yang diwariskan penjajah kepada bangsa ini. Dalam buku Prof. Satjipto Rahardjo “penegakan hukum progresif” mengenai bagaimana hukum itu membuat bahagia adalah salah satu bentuk pemikiran beliau terhadap bagaimana hukum yang bisa membuat bahagia bisa diterapkan di Indonesia. Dalam hal ini, saya hanya mengambil sepotong pendapat Prof. Satjipto rahardjo sebagai bahan pengkajian mengenai bagaimana hukum yang dicita-citakan rakyat sesungguhnya.
Beliau mengatakan bahwa dalam hal hukum Indonesia ini mengalami suatu kegelisahan, ketidak bahagiaan pada penerapan hukum modern yang kemudian mengajukan alternatif “sistem hukum Pancasila”, “Hubungan Industrial Pancasila”, dan lain-lain. Dikatakannya pula bahwa orang Indonesia itu pintar menggagas ide-ide, tetapi akhirnya hanya sampai sebatas omongan. Itulah yang disebut sindrom wacana. Alih-alih muncul suasana kebersamaan dan kekeluargaan dalam manajemen industri, yang muncul adalah “marsinah” dan “buruh dijemur”.
Barang kali kalau mau melihat keberhasilan Sistem Industrial Pancasila, kita harus menengok ke jepang, sekalipun negeri itu sama sekali tidak tahu Pancasila.
Sampai tingkat tertentu, hukum adat kita juga bisa dilihat sebagai simbol kegelisahan dan ketidakbahagiaan dalam penggunaann hukum modern itu. Misalnya, dengan mempertahankan organisasi dan hukum subak sampai sekarang, Bali ingin tetap menikmati kebahagiaannya di penggunaan hukum modern di negerinya.
Marilah dengan semangat bangun dari keterpurukan hukum sekarang ini, kita membangun kembali hukum Indonesia dengan suatu penegasan filsafat baru, bahwa hukum hendaknya memberikan kebahagiaan kepada rakyat. Memang, untuk bisa bergaul dalam komunitas Internasional, kita perlu menggunakan hukum modern yang umum dipakai di dunia. Tetapi, apa pun pilihan yang dilakukan oleh Bangsa Indonesia, tidak ada yang melarang bangsa ini untuk menjadi bahagia. Bahkan, itu yang jauh lebih penting.
Sekarang kita mengalami bagaimana terpuruknya sistem hukum kita dan lebih dari pada itu kita menjadi tidak bahagia. Korupsi dengan gesit menyelinap menghindari jaring-jaring hukum. Itu membuat rasa keadilan kita tertusuk dan menjadi tidak bahagia.
Sebab-sebab ketidakbahagiaan itu sebetulnya dikarenakan oleh perilaku kita sendiri, juga dalam menjalankan hukum. Kita menjadi tidak bahagia karena ada kasus Akbar Tandjung, kasus jaksa agung A. Rahman, dan lain-lain.
Dengan menegaskan filsafat tersebut sebagai landasan bernegara hukum diharapkan bahwa dari situ bisa keluar isyarat atau sinyal-sinyal yang bisa ditangkap oleh seluruh bangsa kita, khususnya para legislator, hakim, jaksa, advokat, birokrasi, pendidikan hukum dan lain-lain institusi. Bahwa tujuan akhir bernegara hukum, adalah untuk menjadikan kehidupan rakyat dan bangsa ini bahagia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar