Dalam
suasana keterpurukan bangsa yang saat ini sedang melanda di semua sektor
kehidupan, muncul banyak kritik-kritik negatif yang menyengat seperti
kalajengking terhadap sistem dan penegakan hukum di Indonesia. Banyak
kritik-kritik yang muncul semata-mata sebagai bentuk protes terhadap penegakan
hukum yang terkadang tidak dirasakan adil lagi, hukum yang terkadang memihak
golongan tertentu saja, hukum yang terkadang hanya berpedoman pada hukum secara
normatif saja tanpa menghiraukan aspek kemanusiaan walaupun normatif adalah
benar secara hukum pada umumnya (positive law).
Rakyat Indonesia menghendaki dan mencita-citakan
hukum Indonesia yang mengayomi, tidak terkesan menindas dan sama-sekali bukan
hukum yang diwariskan penjajah kepada bangsa ini. Dalam buku Prof. Satjipto Rahardjo
“penegakan hukum progresif” mengenai bagaimana hukum itu membuat bahagia
adalah salah satu bentuk pemikiran beliau terhadap bagaimana hukum yang bisa
membuat bahagia bisa diterapkan di Indonesia. Dalam hal ini, saya hanya
mengambil sepotong pendapat Prof. Satjipto rahardjo sebagai bahan pengkajian
mengenai bagaimana hukum yang dicita-citakan rakyat sesungguhnya.
Beliau mengatakan bahwa dalam hal hukum Indonesia
ini mengalami suatu kegelisahan, ketidak bahagiaan pada penerapan hukum modern
yang kemudian mengajukan alternatif “sistem hukum Pancasila”,
“Hubungan Industrial Pancasila”, dan lain-lain. Dikatakannya pula bahwa orang Indonesia itu pintar
menggagas ide-ide, tetapi akhirnya hanya sampai sebatas omongan. Itulah yang
disebut sindrom wacana. Alih-alih muncul suasana kebersamaan dan kekeluargaan
dalam manajemen industri, yang muncul adalah “marsinah” dan “buruh dijemur”.
Barang kali kalau mau melihat keberhasilan Sistem Industrial Pancasila,
kita harus menengok ke jepang, sekalipun negeri itu sama sekali tidak tahu
Pancasila.
Sampai tingkat tertentu, hukum adat kita juga bisa dilihat sebagai
simbol kegelisahan dan ketidakbahagiaan dalam penggunaann hukum modern itu.
Misalnya, dengan mempertahankan organisasi dan hukum subak sampai sekarang,
Bali ingin tetap menikmati kebahagiaannya di penggunaan hukum modern di
negerinya.
Marilah dengan semangat bangun dari keterpurukan hukum sekarang ini,
kita membangun kembali hukum Indonesia dengan suatu penegasan filsafat baru,
bahwa hukum hendaknya memberikan kebahagiaan kepada rakyat. Memang, untuk bisa
bergaul dalam komunitas Internasional, kita perlu menggunakan hukum modern yang
umum dipakai di dunia. Tetapi, apa pun pilihan yang dilakukan oleh Bangsa
Indonesia, tidak ada yang melarang bangsa ini untuk menjadi bahagia. Bahkan,
itu yang jauh lebih penting.
Sekarang kita mengalami bagaimana terpuruknya sistem hukum kita dan lebih
dari pada itu kita menjadi tidak bahagia. Korupsi dengan gesit menyelinap
menghindari jaring-jaring hukum. Itu membuat rasa keadilan kita tertusuk dan
menjadi tidak bahagia.
Sebab-sebab ketidakbahagiaan itu sebetulnya dikarenakan oleh perilaku
kita sendiri, juga dalam menjalankan hukum. Kita menjadi tidak bahagia karena
ada kasus Akbar Tandjung, kasus jaksa agung A. Rahman, dan lain-lain.
Dengan menegaskan filsafat tersebut sebagai landasan bernegara hukum
diharapkan bahwa dari situ bisa keluar isyarat atau sinyal-sinyal yang bisa
ditangkap oleh seluruh bangsa kita, khususnya para legislator, hakim, jaksa,
advokat, birokrasi, pendidikan hukum dan lain-lain institusi. Bahwa tujuan
akhir bernegara hukum, adalah untuk menjadikan kehidupan rakyat dan bangsa ini
bahagia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar