Seperti yang kita ketahui, bahwa hukum yang berlaku di negara Indonesi saat ini masih memerlukan banyak pembaharuan karena dirasa sistem hukum yang berlaku saat ini tidak memihak kepada kepentingan rakyat tetapi lebih memihak kepada kepentingan penguasa. Kita tahu bahwa hukum yang berlaku di Indonesia saat ini adalah hukum peninggalan kolonial, hukum peninggalan penjajah adalah hukum yang mengancam rakyat.
Tidak ada hukum kolonial mengancam penjajahan,
tidak ada penguasa terancam hukum, yang ada kekuasaan mengancam rakyat sebagai
bangsa yang dijajah dengan hukum penjajahan. Jadi kalau sekarang ini ada
istilah “penegak hukum”, aparat-aparat penegak hukum berarti menegakan hukum
kolonial. Bukankah itu berarti juga “melestarikan hukum kolonial” sebagai hukum
negara Indonesia merdeka ? hukum dengan pasal-pasal dan junto-juntonya semua
diarahkan untuk mengancam rakyat. Tidak ada hukum kolonial yang mengancam
Bupati, mengancam Gubernur, mengancam menteri sampai Presiden sebab saat itu
aparat negara kolonial itu adalah semua aparat penjajahan.
Walaupun pernah dinyatakan didalam GBHN 1999-2002
(Tap MPR No. IV/MPR/1999, Bab III tentang visi dan misi) ditetapkan politik
hukum nasional, yaitu “perwujudan sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya
supremasi hukum dan hak asasi manusia berdasarkan keadilan dan kebenaran.
Dengan politik hukum ini, masyarakat hukum
Indonesia hendak mewujudkan tata/sistem hukumnya sendiri, yaitu tata hukum
Indonesia sebagai negara yang merdeka, dan bukan tata hukum kolonial yang telah
menindasnya. Tetapi dalam implementasinya sampai saat ini negara Indonesia
masih cenderung menggunakan hukum yang lebih memihak penguasa dari pada memihak
kepada rakyat.
Masih berlakunya produk-produk hukum kolonial
memang ditolerir berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Dengan alasan,
untuk mencegah terjadinya kekosongan
hukum. Menurut kami itu bukan alasan, bukan persoalan das sein dan das
sollen, karena jika beralasan itu semua karena das sein dan
das sollen berarti 2
hal ini adalah sebuah alasan untuk tidak mewujudkan sebuah cita-cita. Masih
banyaknya produk hukum warisan kolonial, karena sesuai politik hukum yang
digariskan dalam GBHN, baik GBHN 1999-2004 maupun sebelumnya, penyusunan
produk-produk baru diprioritaskan bagi materi hukum yang mendukung tugas umum
pemerintahan dan pembangunan nasional.
Dalam GBHN 1999 bab IV A butir 7
dinyatakan, bahwa pengembangan peraturan perundang-undangan diarahkan pada
perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era
perdagangan bebas.
Dapat diartikan, jika wacan diatas disesuaikan
dengan GBHN lalu yang menjadi pertanyaan sudah sesuaikah dengan dasar negara
pancasila? Dan apakah pembaharuan sistem hukum itu hanya menyentuh masalah
perekonomian untuk perdagangan bebas?
Sementara dapat kita ketahui bahwa efek pasar bebas
saat ini dapat membunuh industri kecil dalam negeri. Dan jika pemerintah
benar-benar ingin bersaing dipasar bebas, realisasi apa yang sudah dilakukan
untuk memajukan industri dalam negeri ?
Pembaharuan sistem penegakan hukum
adalah pembaruan secara menyeluruh pada bidang-bidang hukum, bukan pembaharuan
dalam arti secara tambal sulam atau oplosan yaitu sebagian hukum kolonial
sebagian hukum Indonesia. “minuman saja jika dioplos bisa bahaya, sama halnya
seperti hukum jika dioplos maka akan menjadi seperti sekarang ini.
Bahwa hukum
itu hanya untuk orang-orang lemah, orang bawah, rakyat akar rumput. Sedangkan
hukum untuk penguasa tidak ada, inilah yang kami maksud “hukum itu tajam
kebawah, tetapi tumpul dan lembek keatas”.
Berikut ini adalah hasil pemaparan terhadap suatu
wacana mengenai “sistem hukum yang dicita-citakan rakyat Indonesia di luar
hukum peninggalan penjajah”. Hukum yang seharusnya mengayomi dan bukan hukum
yang menjadi suatu alat untuk menindas dan apalagi menakuti rakyat.
Sebagai mahasiswa fakultas hukum hanya mencoba
menggambarkan apa yang seharusnya ada dalam sistem pembaharuan hukum di
Indonesia berdasarkan perenungan dalam melihat sistem hukum di Indonesia,
mengambil beberapa sumber hanya sebagai bahan referensi bukan sebagai turutan,
walaupun dalam buku ini banyak turutan. Kalau semua turutan itu dipakai maka
akan hancur. Karena negara ini bukan milik individu tetapi seluruh rakyat
Indonesia dari sabang sampai merauke. Kalau ada 10 turutan saja, bisa
dibayangkan apa yang akan terjadi, mau nurut siapa?
Hukum di Indonesia
peninggalan kolonial
Hukum penjajahan kolonial itu “hukum yang
mengancam rakyat”. Tidak ada hukum kolonial mengancam penjajahan, tidak ada
penguasa terancam hukum, yang ada kekuasaan mengancam rakyat sebagai bangsa
yang dijajah dengan hukum penjajahan.
Jadi kalau sekarang ini ada istilah
“Penegak Hukum”, aparat-aparat penegak hukum berarti menegakan hukum kolonial.
Bukankah itu berarti juga “melestarikan hukum kolonial” sebagai hukum Negara
Indonesia Merdeka ?
Hukum dengan pasal-pasal dan junto-juntonya semua diarahkan
untuk mengancam rakyat. Tidak ada hukum kolonial yang mengancam bupati,
mengancam gubernur, mengancam menteri sampai presiden sebab saat itu Aparat
Negara Kolonial itu adalah semua aparat penjajahan.
Jelaslah bahwa hukum Indonesia yang dipakai sampai
sekarang ini sebagai “alat kekuasaan negara untuk menghukum rakyat bangsa
Indonesia” yang memegang kedaulatan terhadap negerinya. Ini sungguh aneh dan
mengherankan. Itu yang disebut fenomena hukum nasional kita.
Fenomena Nasional
di bidang Hukum Negara dimana rakyat yang berdaulat atas tanah air “malah
diancam hukuman dan dihukum oleh para pemimpin bangsanya yang dipilih rakyat
untuk melaksanakan ujudnya amanat penderitaan rakyat”. Suatu kondisi kehidupan
bangsa yang ironis, “berdaulat tetapi dihukum oleh pemimpinya sendiri”.
Cobalah kita lihat di depan mata, di depan hidung
kita masih tampak jelas suatu kejadian di dalam negeri Indonesia merdeka ini
dimana rakyat berdaulat atas Tanah Air beserta kekayaan yang terkandung
didalamnya.
Disana ada perkebunan Negara BUMN yang oleh rakyat dianggap sebagai
perkebunan negara berarti miliknya bangsa Indonesia. tetapi orang yang
berdaulat mengambil coklat hanya 3 biji, ingin dicicipi rasanya karena haus
“ditangkap polisi”, diadili dalam suatu peradilan negara oleh jaksa “dituntut
hukuman”.
Oleh para hakim diputuskan harus dihukum dijatuhi hukuman dengan
vonis peradilan negara.
Ada contoh lain yang bisa kita lihat di televisi.
Masih sama seperti kasus diatas bahwa dikatakan juga perusahaan milik negara.
Ada sisa-sisa limbah produksi yang mungkin bisa dikatakan sebagai sampah, sudah
tidak dipakai, sisa-sisa kapas diambil rakyat, yang mengambil itu juga divonis
dengan vonis peradilan negara dan yang berperan dalam peradilan ini adalah
polisi sebab polisilah yang menyidik kasus yang menyatakan “itu pencurian”.
Yang ironis lagi ada orang mengambil “satu buah semangka”, itu juga disidik
sebagai “kasus pencurian” oleh polisi kemudian dihantar kesidang pengadilan
negara dan yang mengambil semangka itu dihukum.
Hal semacam ini perlu menjadi sorotan oleh
orang-orang bangsa Indonesia yang berjiwa Nasionalis, yang berjiwa kebangsaan,
yang masih mencintai bangsa dan tanah airnya.
Untuk dimengerti dan dipahami bahwa “Sistem Hukum semacam
ini” tidak sesuai dengan harapan bangsa Indonesia yang berjuang dengan korbanan
jiwa raga, dengan susah payahmengucurkan keringat dan darah untuk kemuliaan
hidup bersama didalam suatu negara yang bersatu, berdaulat dengan terujudnya
kesejahteraan dan terujudnya ketentraman hidup yang terjamin, terujudnya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. masyarakat bangsa itu
menghendaki hidup aman, tenteram jelaslah bahwa Penyelenggaraan Negara harus
bisa mengujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Kami meyakini bahwa hukum itu ada untuk mengatur
pola kehidupan masyarakat agar tercipta suatu kondisi yang tertib, teratur,
aman dan tenteram dan tercipta apa yang disebut dengan keadilan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, beragama dan bermasyarakat.
Secara normatif kasus-kasus pencurian kecil diatas
memang melanggar hukum, secara normatif memang harus diproses, hukum harus
ditegakan, tetapi penegak hukum juga sebaiknya memperhatikan 3pilar hukum. Dan
tidak dapat dipungkiri bahwa hal itu terjadi karena tidak lepas dari kondisi
sosial masyarakat.
Kami menyakini, jika negara dapat mensejahterakan rakyatnya
maka kemungkinan tidak akan ada kasus pencurian semacam itu.
Kasus pencurian
semacam itu menurut kami wajar karena faktor kemiskinan, ini yang harus menjadi
perhatian pemerintah. Tetapi yang menurut kami yang tidak wajar adalah
penegakan hukumnya. Bahwa selalu tajam kebawah tetapi tumpul keatas.
Kalau kita memakai Landasan Hukum Nasional yang
dilahirkan bersama Undang-undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Nasional, yaitu
hukum dasar negara yang memberikan sangsi kepada semua aparatur negara
diberbagai kelembagaan kalau melanggar Undang-undang dasar dengan Undang-undang
bagi kelembagaan negara fungsional.
Karena demokrasi Indonesia itu demokrasi
terpimpin yaitu terpimpin oleh asas dan tujuan pembangunan bangsa, juga disebut
sebagai asa pembangunan nasional yaitu terujudnya amanat penderitaan rakyat
sebagai arah bagi kepala negara dan lembaga-lembaga negara dibawahnya dan
dengan satu turutan yaitu konstitusi nasional.
Jadi semua lembaga negara, semua
birokrasi didalam menjalankan tugas dan kewajibanya itu “terpimpin oleh asas
tujuan dan konstitusi nasional” maka dengan itu para fungsional lembaga hukum
negara pun harus terpimpin. Hukum nasional harus mengabdi kepada kepentingan
rakyat bangsa mengujudkan asas dan tujuan nasionalnya. Lembaga hukum nasional
harus tunduk kepada Undang-undang Dasar. Segenap keputusan hukum harus mengabdi
kepada terujudnya kehendak rakyat.
Karena hukum nasional kita adalah hukumnya rakyat,
rechtnya Indonesia adalah rechtnya rakyat, hukum Indonesia adalah hukumnya
rakyat. Ini dasar-dasar hukum yang dilahirkan bersama Undang-undang Dasar 1945
sebagai Undang-undang Dasar produk perjuangan Bangsa Indonesia.
Disini yang ada
“kebenaran Hukum Nasional”, tidak ada berebut kebenaran hukum.
Jadi jelaslah
karena hukum nasional Indonesia yang berlaku sampai saat ini 65 tahun Indonesia
merdeka, bangsa ini dijerat oleh “hukum tinggalan kolonial” dan hukum kolonial
ini adalah hukumnya kekuasaan kolonial ini adalah hukumnya kekuasaan kolonial
memang untuk menghukum bangsa Indonesia sebagai bangsa terjajah, “diancam
hukuman” oleh kekuasaan kolonial siapapun yang menentang peraturan-peraturan
yang sudah ditetapkan oleh pemerintahan kolonial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar